MAKALAH HUKUM KONSTITUSI TENTANG PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSI

 

MAKALAH HUKUM KONSTITUSI

TENTANG

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSI

 

Description: Description: \\Rezky-01\My Documents\Downloads\Logo\Logo STIH copy.jpg
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Oleh

Fitria Hayati Era Enjla

Nim :  1812565

 

Semester VI hukum

 

 

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM

YAYASAN PENDIDIKAN LUBUK SIKAPING PASAMAN

2021

 

 

 

KATA PENGANTAR

                                                         

Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah.Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan kealam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah HUKUM KONSTITUSI dengan ini penulis mengangkat.Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikandan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

 

 

Tapalan, 26 april 2021         

 

 

     Penulis    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

 

            Gelora Reformasi akhirnya juga menerjang perubahan konstitusi. Sejak awal memang telah dirancang oleh pendiri negara bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bukan Konstitusi Lestari dengan bukti adanya ketentuan Pasal 37 yang memungkinkan terjadinya. Namun,dalam perjalanan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 terbentuk orde yang “tidak

berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya

secara murni dan konsekuen”. Akhirnya gerakan sakralisasi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi abadi hanya merupakan histori.

            Dalam upaya mengubah konstitusi, nampaknya para reformis masih tercekam oleh mitos bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah “bersifat singkat dan supel”. Hal tersebut terbukti bahwa sampai dengan perubahan keempat masih tetap dipertahankan adanya 37 Pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tata Negara telah mengajarkan adanya constitutionalism theory (teori konstitusionalisme) bahwa eksistensi konstitusi bagi suatu Negara dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Negara dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan agar tidak bertindak absolut, sehingga materi muatannya harus menentukan adanya check and balances (kesetaraan kekuasaan dan saling mengontrol) antar lembaga Negara atau antar penguasa negara. Namun realita Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) justru menentukan, antara lain, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, kekuasaan yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.

           

B.     Rumusan Masalah

1.     Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Penegakan Hukum Konstitusi

 

Putusan pengadilan biasa yang telah berkekuatan tetap yang bersifat inter-partes atau yang mengikat di antara pihak-pihak berperkara, putusan mana mengandung penghukuman atau perintah untuk melakukan satu perbuatan atau menyerahkan sesuatu barang sebagai prestasi salah satu pihak berperkara, memberi hak pada pihak yang dimenangkan oleh

pengadilan untuk meminta pelaksanaan putusan tersebut (eksekusi) oleh pihak yang kalah, melalui kekuasaan pengadilan dan instrumen pemaksa yang berada dibawah kontrol pengadilan. Perlunya upaya paksa untuk mendukung eksekusi putusan pengadilan terjadi ketika pihak yang diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang kepada

pihak lawan, tidak dipatuhi secara sukarela dalam waktu yangditentukan. Bahkan dalam keadaan dimana instrumen pemaksa (sterke arm)sudah digerakkan untuk melaksanakan putusan in-kracht

demikian,sering juga pihak yang kalah berusaha dengan sekuat tenaga dan dengan

segala cara, termasuk cara kekerasan, untuk menghindari atau menghalangi proses eksekusi yang tengah berjalan. Kecuali karena adanya alasan objektif yang menyangkut objek perkara yang akan dieksekusi maupun situasi para pihak berperkara telah menjadi sedemikian rupa

perubahan keadaannya atau hubungan hukumnya sehingga tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel), maka putusan pengadilan biasa yang berisi perintah untuk melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu yang lazim disebut sebagai eksekusi riel, dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan alat kekuasaan negara.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan putusan MK dalam pengujian undang-undang. Sebagai satu mekanisme checks and balances putusan MK yang mengabulkan satu permohonan untuk menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terlebih-lebih jika menyangkut pengujian undang-undang yang bersifat beleidsregels, yang tidak bersifat  self-executing,tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. MK sebagai  negative legislator,

yang telah membentuk hukum baru dengan menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat dan/

atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak diperlengkapi dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain. Sebagai akibatnya,maka dalam dinamika kepentingan politik diantara kekuatan dalam masyarakat yang dapat mendorong atau menghambat implementasi putusan MK, yang tidak selalu dapat diterima semua pihak, akan memperhadapkan MK dengan kekuasaan negara lainnya, yaitu legislative bersama-sama dengan eksekutif, sebagai badan pembuat undang-undang,yang juga tidak selalu berkepentingan untuk melaksanakannya. Setidak-tidaknya jika putusan tersebut merugikan kepentingan mereka masing-masing. Oleh karenanya kecenderungan untuk mengabaikan, melawan atau menentang putusan MK juga terjadi dalam peradilan konstitusi,

terutama jikalau putusan MK tersebut terlalu merugikan kepentingan politik pihak eksekutif maupun legislatif yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai politik yang mempunyai kursi di DPR. Perlawanan atau tantangan tersebut akan bisa mengambil bentuk dengan mengabaikan

putusan, menolak revisi undang-undang yang telah diuji atau bahkan melakukan serangan balik baik dengan upaya mengurangi kewenangan MK atau mendudukkan orang-orang yang lebih lembek untuk mengisi posisi hakim MK yang lowong pada masa jabatan berikut.

Dalam peran MK yang demikian kuat dan mendasar sebagai penyeimbang dan pengawasan horizontal, menjadi sangat wajar jikalau hubungan antara MK dan Eksekutif dan legislatif boleh jadi akan berada dalam ketegangan atau suasana yang dingin. Undang-undang sebagai produk proses politik yang diuji oleh MK sebagai kewenangan yang diterapkan untuk mencegah proses kebijakan yang bisa menyimpang jauh dari mandat konstitusi,sehingga lembaga yang tidak demokratis seperti MK sesungguhnya membantu dan mendukung  democratic majoritarianism dengan bersikeras mendesak agar lembaga-lembaga politik bertindak dalam kerangka kekuasaan yang disebut dalam konstitusi, agar ketika merumuskan

undang-undang memperhitungkan batas-batas konstitusional yang ada.

Dalam ketegangan hubungan yang bisa terjadi antara MK dengan Pembuat Undang-Undang, harus selalu dicoba adanya dialog secara terus menerus diantara ketiganya, yang meungkinkan timbulnya saling pemahaman, yang pada gilirannya dapat mempermudah proses implementasi putusan yang kontroversial sekalipun, sehingga semua pihak dapat mengidentifikasi batas-batas kewenangan konstitusional masing-masing secara wajar dan masuk akal,tanpa menimbulkan ketegangan dan kebuntuan politik yang tidak perlu. Tambahan lagi hampir semua Negara dimana Mahkamah Konstitusi dibentuk terpisah dari Mahkamah Agung,timbul persaingan atau perasaan disaingi dilingkungan Mahkamah Agung, didalam urusan teknis perkara ataupun nonperkara.Dalam kenyataan, ternyata masih banyak putusan MK yang belum ditindak lanjuti sebagai implementasi dalam bentuk revisi undang-undang yang telah diuji MK; dalam beberapa putusan lainnya, proses implementasinya berjalan sangat lamban dan penuh dengan tarik menarik kepentingan yang memang dapat diperhitungkan dari sejak awal. Ada pula yang berpendapat bahwa putusan MK dalam banyak hal tidak menyelesaikan masalah,melainkan justru menimbulkan masalah baru,karena dalam mewujudkan perubahan hukum yang ditetapkan secara declaratoir dalam putusannya, justru membutuhkan kembali perdebatan dan proses seperti dalam pembentukan satu undang-undang baru. Hal demikian ada benarnya, karena putusan MK yang menyangkut pengujian

undang-undang yang bersifat algemene verbindende voorschriften (aturan yang mengikat secara umum) tentang larangan dan keharusan yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah dengan sendirinya berlaku dan mengikat dengan dibacakannya di depan sidang terbuka untuk umum putusan yang bersifat deklaratif konstitutif tersebut. Pejabat negara terutama penegak hukum, terikat untuk tidak menerapkan lagi aturan undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut.

Permasalahannya adalah, apakah dengan dipublikasikannya putusan MK dalam Berita Negara, menyebabkan undang-undang yang telah diuji sepanjang mengenai pasal, ayat atau

bagian undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut dapat dihapuskan dengan sendirinya dari undang-undang yang bersangkutan, sebagaimana dilakukan oleh penyusun himpunan perundang-undangan tertentu.

Apakah putusan MK sebagai  negative legislator yang berada dalam posisi sejajar dengan pembuat undang-undang positif, yaitu Presiden dan DPR, dalam hal perubahan yang terjadi sangat minor atau hanya menyangkut satu dua pasal atau ayat, tidak sebaiknya harus dilakukan dengan mencatatkan bunyi putusan MK tersebut sebagai catatan pinggir atau renvoi dalam Lembaran Negara tempat diundangkannya undang-undang yang diuji tersebut.

Adanya perbedaan jenis undang-undang yang telah disinggung terdahulu, menunjukkan bahwa ada undang-undang yang hanya dalam arti formil (wet in formele zijn

yang sesungguhnya tidak berlaku dan mengikat secara umum, melainkan memuat rencana, pengaturan dan kebijakan makro dalam perekonomian seperti halnya undang-undang APBN. Peraturan yang dinamakan policy rules atau beleidsregels,jika implementasi putusan MK memerlukan satu rencana atau kebijakan baru melalui revisi undang-undang berdasarkan tafsir dan operative proposisition yang dikeluarkan MK, yang akan dijadikan dasar hukum

dalam menyelenggarakan kegiatan negara selanjutnya, maka keadaanya menjadi berbeda.

Kita memahami bahwa hukum memiliki tiga aspek atau

komponen, yaitu :

(i)                 nilai,

(ii)               norma, dan

(iii)             realitas sosial.

 Hukum sebagai ideal yang memuat nilai-nilai berkait erat dengan konseptualisasi keadilansecara abstrak. Tetapi hukum merupakan lembaga peraturan yang harus memperhatikan kenyataan sehari-hari, dan ia harus mencerminkan kenyataan sehari-hari yang hidup, serta menjejakkan kaki kebumi,sehingga merupakan hal yang wajar jika timbul tegangan antara dunia idee atau nilai dengan dunia sehari-hari tersebut. Ide atau nilai itu berubah fungsinya menjadi kekuatan pengontrol.

B.     Beberapa Masalah yang Dihadapi

 

Dengan uraian sebagaimana dikemukakan terdahulu, penegakan hukum (konstitusi) terjadi melalui serangkaian proses panjang dengan berbagai variabel turut mempengaruhi hasil yang dicapai. Oleh karenanya sangat penting untuk diketahui bagaimana addressat

putusan MK seharusnya memahami dan menghayati makna “putusan MK sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final”, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang kemudian diulangi dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Satu putusan yang final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, membawa akibat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal demikian memiliki implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu bersifat erga omnes,yaitu mengikat seluruh warganegara,pejabat negara dan lembaga-lembaga negara sesuai dengan sifat Negara hukum.

Apabila Pemerintah dan DPR memahami keterikatan tersebut dalam arti menjadi kewajiban konstitusionalnya untuk melaksanakan putusan MK sebagai negative legislator, seharusnya ada prosedur baku yang ditetapkan tentang mekanisme untuk implementasi putusan tersebut,

sehingga tidak semata-mata tergantung pada nilai, etika dan moralitas yang dianut oleh anggota-anggota DPR dan Pejabat Pemerintah yang berwenang. Prosedur baku yang mengikat tersebut diperlukan karena terdapat akibat hukum yang berbeda-beda sesuai dengan jenis undang-undang yang diuji dan dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

             Dengan demikian sebagai konsekuensinya, maka implementasi putusan MK yang menguji undang-undang, proses dan mekanismenya tidak sama karena Undang-Undang terdiri dari beberapa macam atau jenis dilihat dari substansi norma, subjek

yang sesungguhnya maupun daya ikat. Dikenal adanya undang-undangformil yang dibedakan

dari undang-undang dalam arti materil. Undang-undang formil yang hanya dapat dibentuk Pemerintah dan DPR, dalam kenyataanya tidak selalu bermuatan norma perilaku tentang larangan dan kewajiban, yang sifatnya berupa algemene verbindende voorschriften, tetapi dapat juga berupa kebijakan (beleidregels), pengaturan ataupun rencana perhitungan pendapatan dan pengeluaran negara yang semata-semata berupa perkiraan. Perbedaan isi atau materi undang-undang tersebut sedemikian rupa membawa akibat dalam putusan pengujian, yang meskipun sama-sama tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,namun bentuk pelaksanaan atau implementasi pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap undang-undang demikian yang bersifat inkracht van gewijsde tetap saja tidak sama.

Hal demikian antara lain juga karena dalam kenyataan MK tidak memiliki instrumen untuk memaksakan pelaksanaan atau implementasi putusannya. Oleh karena itu menjadi penting untuk diketahui dimanakah letak kekuatan terakhir untuk memaksakan implementasi putusan yang final dan mengikat tersebut secara konstitusional dalam sistim ketatanegaraan kita.

Dengan demikian secara umum masalah yang dihadapi adalah apa dan bagaimana tindak lanjut atas putusan MK yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif sebagai bagian proses penegakan hukum, dengan mana dapat diketahui bagaimana sesungguhnya meletakkan peran putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang, untuk mewujudkan satu penegakan checks and balances yang efektif dalam penyelenggaraan kekuasaan negara yang demokratis berdasarkan prinsip konstitusionalisme, sehingga dapatlah

dirancang tehnik dan strategi untuk memberdayakan mekanisme sistemketatanegaraan kita  berkenaan dengan implementasi putusan MK secara efektif sebagai bagian dari proses penegakan hukum. Apabila ternyata hal itu tidak efektif, dapat diketahui titik-titik lemah untuk melakukan perbaikan dan perubahan UU Mahkamah Konstitusi maupun mekanisme

implementasi putusan MK sebagai negative legislation agar efektif menjadi positive legislation melalui implementasi atau tindak lanjut yang dilakukan DPR dan Pemerintah terhadap putusan MK tersebut. Hal ini menjadi penting, karena hukum tatanegara, yang baru saja bangun dari tidurnya, memerlukan pengujian yang kritis untuk dapat menjadi hukum yang hidup melalui praktek dan putusan Mahkamah Konstitusi. Georg Vanberg dalam bukunya The Politics of Constitutional Review in Germany, menguraikan hubungan legislatif-judikatif berkenaan dengan wewenang constitutional review yang dimiliki oleh Federal Constitutional CourtJerman. Buku lain adalah Ralf Ragowski dan Thomas Gawron, yang menghimpun tulisan tentang implementasi putusan Mahkamah Agung Amerika dan Jerman dalam satu perspektif perbandingan.

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Penegakan hukum konstitusi yang tercermin dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan(separation of powers)dan checks and balances hanya efektif jikalau putusan MK diterima dan dilaksanakan oleh penyelenggara cabang kekuasaan negara lainnya, terutama Pembentuk Undang-Undang.

Beberapa strategi dan teknik yang diterapkan oleh MK untuk mengawal putusan-putusannya dalam bentuk antara lain Conditional Constitutionality dan Grace Period atau pemberian tenggang waktu pada Pembentuk Undang-Undang untuk mengimplementasikan putusan MK yang menyatakan satu Undang-Undang Inkonstitusional, akan tetapi tidak segera atau serta menyatakannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat,tidak juga menjamin tegaknya hukum konstitusi melalui implementasi putusan MK tersebut. Dalam keadaan yang demikian, pada akhirnya diserahkan pada kedaulatan rakyat dalam siklus lima tahunan PemilihanUmum, untuk menentukan apakah pemerintahan dan legislator yang menghindari atau mengelakkan implementasi putusan MK yang menjalankan amanat UUD 1945, masih akan diberi mandat untuk mewakili rakyat pemilih mewujudkan kepentingan dan kesejahteraannya atau tidak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alexander Hamilton, The Federalist Papers, Mentor Book, The New Ameri- can Library, 1961.

Christof Heyns, Introduction To Socio-Economic Rights In The South African Constitution[Part 1], tanpa tahun.

Ernst Benda, Pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi di Negara-Negara Transformasi dengan Contoh Indonesia, Konrad Adenauer Stiftung,Jakarta, 2005.

Georg Vanberg, The Politics of Constitutional Review In Germany, Cam-bridge University Press 2005.

Hans Kelsen, General Theory of Law And State, New York, Russel&Russel, 1973.

H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,Sekkretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I. 2006.

Herman Schwartz, Do Economic and Social Rights Belong In A Constitution? ,10 Am.U.J. Int’l L & Pol’y 1994-1995.

Howard Ball, Courts And Politics, The Federal Judicial System,Prentice-Hall Inc,Englewood Cliffs, N.J. 1980.

Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, 2007.Perihal Undang-Undang,Konpress 2006.

Jutta Limbach, The Concept of the Supremacy of the Constitution,dalam The Modern Law Review Vol.64, No. 1, Januari 2001.

Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan,PenerbitKanisius 1998.

Mitchell N. Berman, dalam artikel Constitutional Decision Rules,VirginiaLaw Review, Vol 90, No. 1 March 2004

Ralf Rogowski& Thomas Gawron (eds),Constitutional Courts in Compari-son, The US Supreme Court and the German Federal Contituional Court,Berghahn Books, New York-Oxford, 2002.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung2000.

Tom Ginsburg,Judicial Review In New Democracies, Constitutional Court in Asian  Cases,Cambridge University Press 2003.

Undang-Undang Dasar 1945 Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses Dan Hasil Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahnun 1945,Sekretariat Jenderal MPR R.I. 2003

 

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN MAGANG DI KANTOR URUSAN AGAMA PADA BAGIAN ADMINISTRASI

LAPORAN MAGANG BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT BIDANG ANGGARAN

MAKALAH FETAL SKULL FETAL POSITIONING MEKANISME PERSALINAN PRESENTASI VERTEX (OKSIPUT ANTERIOR DAN OKSIPUT POSTERIOR)