Makalah “Dasar Dasar Peniadaan Penuntutan Dan Pelaksanaan Pidana”
Makalah
“Dasar Dasar
Peniadaan Penuntutan Dan Pelaksanaan Pidana”

OLEH KELOMPOK 6 :
·
ZIKRA RAMADANI
·
ERTIKAWATI
·
JEVIN AMILGA
·
ADI CANDRAWAN
·
ERA
·
YOLLA DIAYU MONICA
STIH
PASAMAN
SEKOLAH TINGGI
ILMU HUKUM PASAMAN
2021
![]()
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Dasar-Dasar Peniadaan Penuntutan Dan Pelaksanaan Pidana”
dengan tepat waktu. Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah.
Dan harapan kami
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Opir, 25 April 2021
Penyusun
2.1
DASAR-DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN
3. Kematian Terdakwa/Terpidana
4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan
5. Tidak Adanya Aduan pada Delik Aduan
1. Ketidakmampuan Bertanggung jawab
3. Pembelaan Terpaksa (noodweer)
4. Pembelaan
Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exces)
5. Menjalankan Perintah Undang-Undang
6. Menjalankan Perintah Jabatan
7. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah Dengan
Itikad Baik
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada beberapa kasus yang terjadi di
masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan
dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan
yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di
dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan
pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut
umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah
dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut
umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh
melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak
dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah
keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak
bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak
dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak
terdapat sesuatu unsur schuld.
Keadaan-keadaan yang membuat
penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku
disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan
“penuntutan” sedang keadaan- keadaan
yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak
dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Keadaan-keadaan khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar dalam
kalangan masyarakat. Apa yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan
tersebut harus disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan atau dasar dari penghapusan
penuntutan dan alasan atau dasar dari penghapusan pidana.
1.2 Identifikasi Masalah
Ø Apa
Dasar Dasar Peniadaan Penuntutan Dan Pelaksanaan Pidana?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 DASAR-DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN
Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada
di dialam KUHP adalah :
- Ne Bis In Idem (Pasal
76)
- Lampau Waktu/Verjaring (Pasal
79)
- Kematian Terdakwa atau
Terpidana (Pasal 77)
- Penyelesaian di Luar
Proses Pengadilan (Pasal 82)
- Tidak adanya aduan pada
Delik Aduan
Dasar Peniadaan
Penuntutan di Luar KUHP :
- Abolisi
- Amnesti
Dasar peniadaan
penuntutan di dalam Bab VIII KUHP adalah sebagai berikut :
1. Asas Ne Bis In Idem
Asas Ne Bis In Idem
terdapat dalam Pasal 76 KUHP yang menyatakan bahwa orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah
diadili dengan keputusan yang menjadi tetap (putusan inkra).
Asas ne bis
in idem mempunyai dua segi yaitu yang bersifat pribadi (persoonlijk)
dan yang bersifat peristiwa (zakelijk).
Ne bis idem berarti
tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang
sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwapada suatu saat (nantinya)
harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan
pidana terhadap suatu delik tertentu. Azas ini merupakan pegangan agar tidak
lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan
pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk
menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga untuk
menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama,
yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.
Tujuan dari azas ini
ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin
kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam
masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukumyang tetap
apabila upaya hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak
dapatlagi digunakan baik karena lewat waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan
atau putusanditerima oleh pihak-pihak. Agar supaya suatu perkara tidak dapat
diperiksa untuk kedua kalinya apabila :
- Perbuatan yang
didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yangdidakwakan
terdahulu.
- Pelaku yang didakwa
(untuk kedua kalinya) adalah sama.
- Untuk putusan yang
pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyaikekuatan hukum yang
tetap.
Belakangan dasar Ne
bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadapseseorang itu juga
mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis
yang tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:
- Penjatuhan hukuman (veroordeling).
Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah
melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkankepadanya; atau
- Pembebasan dari
penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini
hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa
itudibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata
bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum,
karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, atau
- Putusan bebas (vrijspraak).
Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang
dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
2. Lampau Waktu/Verjaring
Daluwarsa adalah pengaruh lampau
waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk menuntut seseorang tertuduh dalam
perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat KUHP menerima lembaga
lewat waktu (verjaring) adalah :
- Sesudah lewatnya
beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka ingatan
orang tentang peristiwa telah berkurang bahkan tidak jarang hampir hilang.
- Kepada individu harus
diberi kepastian hukum (rechtsverligheid) terutama apabilaindividu
terpaksa tinggal di luar negeri dan dengan demikian untuk sementarawaktu
merasa kehilangan atau dikurangi kemerdekaannya.
- Untuk berhasilnya
tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudahlewatnya waktu yang
agak lama. Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa sebagai saat mulai
berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan
harinya sesudah perbuatan dilakukan”.
Dalam Pasal 79 KUHP
ditentukan bahwa sebagai saat mulai berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam
tuntutan pidana adalah “keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan”.
Pembuat KUHP juga
menentukan saat istimewa mulai berjalannya lewat waktunya tuntutan pidana dalam
tiga hal yaitu :
- Dalam hal memalsu atau
meniru uang logam atau kertas atau uang kertas bank, maka jangka lewat
waktunya tuntutan pidana mulai berjalan pada harisesudah hari uang palsu
itu dipakai
- Dalam hal salah satu
kejahatan yang tercantum dalam Pasal-pasal 328KUHP (Penculikan), 329 KUHP,
Pasal 330 KUHP, dan Pasal 333 KUHP, maka jangka lewat waktunya tuntutan
pidana mulai berjalan sesudah hari dibebaskannya atau meninggal dunianya
korban.
- Dalam hal pelannggaran
peraturan-peraturan Pencatatan Sipil (Pasal 556-558 a KUHP) maka jangka
lewat waktunya tuntutan pidana muali berjalan padahari sesudah hari
daftar-daftar yang bersangkutan telah diserahkan kepada Panitia Pengadilan
tersebut.
Verjaring dapat dicegah
(gestuit) atau dipertangguhkan (geschorst). Beda antara pencegahan dengan
penangguhan adalah sebagai berikut :
Dalam hal pencegahan,
maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang samasekali, sedangkan dalam
hal penangguhan jangka lewat waktu yang telah dilalui sebelum diadakannya
pertangguhan itu dapat diperhitungkan terus.
Pasal 80 KUHP
mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana :“tiap-tiap perbuatan
penuntutan mencegah daluwarsa (lewat waktu) asal saja perbuatan itu diketahui
oleh orang yang dituntut atau diberitahukan kepadanya menurut cara
yangditentukan oleh undnag-undang”.
Pasal 81 KUHP
mengatur mengenai penangguhan lewat waktunya tuntutan pidana itu disebabakan
oleh apa yang disebut “question prefudictelleau judgement” atau perselisihan
pra yudiciil. Ini merupakan perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih
dahulu harus diselesaikan sebelum perkara pidananya dilanjutkan.
3. Kematian
Terdakwa/Terpidana
Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 77 KUHP : “Kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal
dunia”
Apabila seorang
terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak
menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan
itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh
pengadilan dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk
verklaard). Umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi
masihharus memutuskan perkaranya.
Dalam pasal 77 KUHP
terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus ditujukan kepada diri
pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana itu
meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja
artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.
Pengecualiannya
diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam hal menuntut
denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai
pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan
kepada ahli waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara
pidana, maka baik wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang
disangkamelakukan delik, maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena
kematian terdakwa atau terpidana.
4. Penyelesaian di Luar
Proses Pengadilan
Hal ini diatur dalam
Pasal 82 KUHP. Yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 82 ayat (1)
Hak menuntut hukum
karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak
berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiridan demikian
juga dibayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izinamtenaar
yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.
Pasal 82 ayat (2)
Jika perbuatan itu
terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu ataudibayar
harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.
Pasal 82 ayat (3)
Dalam hal hukuman itu
ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu
dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebeb pelanggaran yang dilakukan dulu
telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.
Pasal 82 ayat (4)
Ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum cukup
umur yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Ketentuan ini memuat
lembaga hukum pidana yang terkenal dengan namaafkoop yaitu penebusan tuntutan
pidana karena pelanggaran. Jadi dalam hal kejahatan afkoop ini tidak mungkin,
yang diatasnya tidak ditentukan, hukuman pokok lain dari pada denda, dengan
membayar sukarela maksimum denda.
Menurut Pasal 82 KUHP
ada 2 macam syarat untuk dipenuhi agar seorang dapat lepas dari pidana yang
harus dijalankan atas pelanggaran itu, yaitu :
- Dengan membayar secara
sukarela denda tertinggi (maksimum) yangdiancamkan kepada pelanggaran ini.
- Dengan ijin dari
pegawai yang ditunjuk undang-undang, misalnya KepalaJawatan Pajak dalam
hal orang yang melanggar peraturan di dalam hukum fiscal.
5. Tidak Adanya Aduan pada
Delik Aduan
Tidak adanya
pengaduan pada delik aduan (Pasal 166, 221 ayat (2) KUHP) Delik aduan adalah
delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dariyang berhak
mengadukannya. Delik aduan ini ditentukan secara khussus dalam beberapaPasal
KUHP. Misalnya Perzinahan (Pasal 284 KUHP)
Sedangkan yang diatur
di luar KUHP
Abolisi dan Amnesti
Abolisi dan Amnesti ini tidak
tercantum dalam KUHP. Tetapi diatur dalamUndang-undang Darurat No. 11/1954
tentang Manesti dan Abolisi, LN.1954 No.146 .Abolisi adalah meniadakan wewenang
dari Penuntut Umum untuk menuntut hukuman. Sedangkan Amnesti adalah suatu
wewenang yang lebih luas lagi, yaitu amnesti tidak hanya meniadakan wewenang
untuk menuntut hukuman tetapi juga wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik
dalam hal eksekusi itu belum dimulai maupun telah dimulai. Amnesty dan Abolisi
ini diberikan oleh Presiden atas kepentinan Negara. Amnesty dan Abolisi ini
diberikan setelah mendapat nasehat dari Mahkamah Agung
2.2 DASAR PENIADAAN PIDANA
Dasar peniadaan pidana haruslah
dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan, yang pertama ditetapkan oleh
hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau
kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang
membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut
jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhkan pidana. Ia harus dibedakan
dengan dipisahkan dari dasar peniadaan penuntutan pidana menghapuskan hak
menuntut jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang.
Dasar Peniadaan Pelaksanaan Pidana
1.
Terpidana Meninggal Dunia
Hal ini diatur dalam Pasal 83 KUHP.
Denda dan penyitaan (perampasan) tetap dieksekusi dengan cara dikompensasikan
dengan benda-benda terpidana yang mati tersebut.
Ada pengecualian, yaitu dalam
perkara tindak pidana ekonomi berdasarkan Pasal 16 UUTPE walaupun di situ orang
yang tidak dikenal dan meninggal dunia artinya belum ada putusan hakimtentu
eksekusi perampasan tetap dapat dilakukan begitu juga dengan delik korupsi.
2.
Lewat Waktu (Verjaring)
Pasal 84 KUHP mengatur tentang
lewat waktu pelaksanaan pidana. Tenggat waktu mengenai semua pelanggaran
lamanya dua tahun.
Kejahatan yang dilakukan dengan sarana
percetakan lamanya lima tahun. Untuk kejahatan lain sama dengan tenggat waktu
penuntutan ditambah dengan sepertiga.
Dasar peniadaan pidana lazim dibagi dua,
yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf :
1. Dasar Pemaaf, unsur-unsur delik sudah
terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat. Maka terdakwa dilepaskan
dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya :
·
adanya
ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1)
·
adanya
daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces, Pasal 48)
·
adanya
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
·
karena
menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat
2)
2. Dasar Pembenar, sifat melawan hukum perbuatan
hapus atau tidak terbukti, maka perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar
sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh hakim. Dalam hal ini misalnya :
·
adanya
daya paksa relative dan keadaan darurat (overmacht, Pasal 48)
·
adanya
pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1)
·
karena
sebab menjalankan undang-undang (Pasal 50)
·
karena
melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1)
1. Ketidakmampuan Bertanggung jawab
Pasal 44 KUHP menyatakan orang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam 2 hal, yaitu : jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit jiwa. Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan
kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk dasar pemaaf.
Namun
demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan
seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan
ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van
Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan
bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a.
Keadaan
jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan
nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya
terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c.
Ia
tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Alasan
undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif,
artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan
bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk
undang-undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab.
Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis
hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara
negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab
agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan.
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam
rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat
berada dalam keadaan tidak mampu bertanggungjawab, yaitu :
·
metode
biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal
yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;
·
metode
psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari
ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu
bertanggungjawab atau tidak;
·
metode
gabungan.
Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan
bertanggungjawab memerlukan selain perkembangan jiwa yang tidak normal dan
penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal
antara penyakit jiwa dan perbuatan.
Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja
yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua
penyakit jiwa tertentu yang hanya ada hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya
seperti cleptomanie, tidak membebaskan pembuat dari tanggungjawab pidana
terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya.
Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat mutlak tentang
penentuan bertanggungjawab atau
ketidakmampuan bertanggungjawab.
2. Daya Paksa (overmacht)
Hal
ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan KUHP)
bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.
Menurut Jonkers, Daya Paksa terbagi dalam 3
macam, yaitu : 1. Daya paksa mutlak; 2.
Daya paksa relatif; 3. Keadaan darurat.
a.
Daya Paksa Mutlak (absulte overmacht)
Pembuat
tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan,
dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat
demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah.
Absulte Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.
Misalnya : seseorang yang ditangkap oleh
orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi pengrusakan
barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela, sehingga kaca jendela pecah
tak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP.
Contoh lain daya paksa rohaniah, seorang
dihipnotis, lalu dalam keadaan tak sadar berlari telanjang bulat. Orang
tersebut tak dapat dipidana menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang
yang melemparkannya keluar dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat
menurut pasal 55.
b.Daya
Paksa Relatif (relatieve overmacht)
Kekuasaan, kekuataan, dorongan atau paksaan
fisik atau psikis terhadap orang yang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi.
Misalnya pada perampokan bank, bankir diancam
dengan pistol supaya menyerahkan uang. Bilamana ia tidak melakukannya maka ia
akan ditembak. Bankir tersebut tidak dapat melawan dengan risiko mati ditembak,
bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak perampok, maka ia tidak dapat
dipidana, sekalipun ia telah mewujudkan delik.
Perbedaan daya paksa absolut dan relatif
ialah, pada absolut orang yang memaksa dan mendoronglah yang berbuat, sedangkan
relatif orang yang diancam, dipaksa, atau didoronglah yang berbuat, sekalipun
ia berbuat karena ancaman atau dorongan. Dalam hal ini relatieve overmach
termasuk alasan pembenar.
c.
Keadaan darurat (noodtoestand)
Suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum
terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan
perbuatan yang pada kenyatannya melanggar kepentingan hukum yang lain.
Noodtoestand dalam dasar peniadaan pidana termasuk alas an pembenar.
Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand ada 3
macam ialah:
·
dalam
hal terjadi dua kepentingan hukum (rechtsbelang);
·
dalam
hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum (rechtsplicht) dengan
kepentingan hukum;
·
dalam
hal terjadinya dua kewajiban hukum.
Ø Pertentangan
antara dua kepentingan hukum (rechtsbelang)
apabila terjadi suatu keadaan dimana terjadi
konflik antara dua kepentingan hukum yang saling berhadapan, dimana tidak dapat
memenuhi semua kepentingan hukum yang saling bertentangan itu sekaligus,
melainkan dengan terpaksa harus mengorbankan atau melanggar kepentingan hukum
yang lain tersebut tidak dapat dipidana.
Contoh : Ketika terjadi kecelakaan laut, ada
dua orang penumpang yang usahanya hendak menyelamtakan nayawanya berpegang pada
sebuah papan, yang papan mana hanya dapat menahan satu orang. Apabila keduanya
tetap berpegang pada papan, maka kedua orang itu akan tenggelam dan mati. Maka
dalam usaha menyelamatkan diri dari ancaman kematian (mempertahankan
kepentingan hukumnya agar tetap hidup), maka seorang diantaranya mendorong
orang lain yang juga sedang berpegang pada papan itu (melanggar kepentingan
hukum atau kesalamatan orang lain), dan karena dorongan yang kuat itu maka terlepaslah
pegangannya dari papan tersebut dan matilah dia.
Ø
Pertentangan antara kewajiban hukum dan
kepentingan hukum
Apabila
terdapat suatu keadaan dimana seseorang hendak melaksanakan kewajiban hukumnya
namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan kepentingan hukumnya
sendiri, maka bilmana ia memilih perbuatan untuk menegkkan kepentingan hukumnya
sendiri dengan melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar
undang-undang, maka dia tidak dapat dipidana.
Contoh: Seorang dokter ahli forensik yang
diminta oleh Pengadilan Negeri untuk memberikan keterangan ahli tentang sebab
kematian seorang korban dalam sidang perkara pidana, pada saat yang sama dia
menderita luka-luka karena kecelakaan lalu lintas, yaitu dalam keadaan ini ia
memilih melanggar kewajiban hukumnya dengan tidak memenuhi panggilan Pengadilan
Negeri, karena dia lebih mementingkan meneggakkan kepentingan hukumnya dengan
berisitirahat di rumah demi segera menyembuhkan luka-lukanya. Dalam hal ini si
dokter melanggar pasal 224 KUHP.
Ø
Pertentangan antara dua kewajiban hukum
(rechtsplicht)
Apabila
suatu keadaan dimana seseorang diwajibkan untuk menjalankan dua kewajiban hukum
sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yang keduanya tidak dapat dilakukannya,
dan kemudian dia melaksanakan salah satu saja dari kewajiban hukumnya itu.
Contoh :
seorang dokter pada saat yang sama dia harus menjalankan operasi
seseorang karena karena kecelakaan yang tidak ada dokter lain yang dapat
melakukannya, yang ketika itu ia juga dipanggil pengadilan untuk memberikan
keterangan ahli. Si dokter hendak melaksanakan kewajiban hukumnya namun pada
saat yang bersamaan dia harus menegakkan kewajiban hukumnya sendiri, maka
bilmana ia memilih perbuatan untuk menegakkan kewajiban hukumnya sendiri dengan
melanggar kewajiban hukumnya yang pada kenyatannya melanggar undang-undang,
maka dia tidak dapat dipidana.
3. Pembelaan Terpaksa (noodweer)
Dirumuskan
dalam Pasal 49 ayat (1) tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan perbuatan
pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.
Dalam
hal ini, asas yang harus diperhatikan adalah asas subsdiariteit dan asas
propositionaliteit. Asas ini mensyaratkan bahwa bilamana terdapat cara
pembelaan yang sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh meggunakan
cara yang memberikan kerugian yang lebih besar pada penyerang. Dengan kata lain
pembelaan yang diberikan itu haruslah tidak boleh melampaui batas keperluan dan
keharusan, yang diserang harus memilih cara yang tidak mendatangkan kerugian
yang lebih besar pada penyerang daripada yang perlu. Kepentingan yang dibela dan
cara yang dipakai harus maksimal dan seimbang dengan kepentingan yang
dikorbankan.
Menurut Zainal Abidin Farid, Noodweer ialah
pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak dan tiba-tiba serta mengancam
dan melawan hukum. Yang mana serangan itu dilakukan terhadap dirinya sendiri
atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat fisik; dalam hal membela
kehormataan kesusilaan diri sendiri atau orang lain; dalam hal pembelaan harta
benda sendiri atau orang lain. Dalam noodweer ada alas an pembenar dalam dasar
peniadaan pidana.
Syarat pembelaan terpaksa :
·
karena
terpaksa sifatnya;
·
yang
dilakukan ketika timbulnya ancam serangan dan berlangsungnya serangan;
·
untuk
mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat mewalan hukum;
·
yang
harus seimbang dengan serangan yang mengancam;
·
pembelaan
terpaksa itu terbatas dalam hal mempertahankan 3 macam kepentingan hukum.
Perbedaan Overmacht dan dan Noodweer
Pada
Overmacht:
·
overmacht
terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh yang diserang (korban)
adalah perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan oleh penyerang;
·
orang
yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki oleh si
penyerang, karena dia tidak berdaya melwan serangan yang memaksa itu;
·
tidaklah
ditentukan bidang kepentigan hukum apa dan dalam hal apa penyerangan yang dapat
dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa;
·
pada
daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal
konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara kewajiban hukum dan
konflik antara kewajiban dan kepentingan hukum.
Pada Noodweer:
·
Perbuatan
yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak
menjadi atau maksud si penyerang;
·
Pada
pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan untuk
berbuat untuk melawan serangan;
·
Pada
pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang
bersifat mewalan hukum dalam 3 bidang;
·
Pembelaan
terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.
4. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas
(noodweer exces)
Dirumuskan
dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu tidak dapat dipidana.
Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces
ialah perlampuan batas pembelaan terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan
jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam dan dapat
terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces termasuk alas an pemaaf
dalam dasar peniadaan pidana.
Perbedaannya
dengan pembelaan terpaksa (noodwer):
a. perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud
pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan
atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal
pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan
dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan apa yang menjadi
pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas
kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah
tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang
lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong
kayu (noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan
menembaknya (noodweer exces).
b. dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan
pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau
serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti
atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces perbuataan pembelaan itu masih
boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
c. Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer
karena sifat melawan hukum pada perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar.
Sedangkan pada noodweer exces adanya alasan penghapusan kesalahan pada diri si
pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat
noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada perbuatannya.
5. Menjalankan Perintah
Undang-Undang
Dirumuskan dalam Pasal 50 barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan unang-undang, tidak dipidana.
Dari rumusan yang singkat ini, ada beberapa yang perlu diterangkan yaitu :
·
Tentang
ketentuan undang-undang
·
Perbuatan
·
Melaksanakan
ketentyuan undang-undang
Peraturan perundang-undangan adalah semua
peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud
tersebut menurut undang-undang.
Tentang perbuatan yang dimaksudkan itu ialah
perbuatan mana pada dasarnya jika tidak ada undang-undang yang memberi
kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak pidana.
Melaksanakan perintah undang-undang, tidak
hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahakan oleh undang-undang
akan tetapi lebih luas lagi ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang
dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.
Contoh : Algojo yang menjalankan tugas
menembak mati terpidana yang divonis hukuman mati
6. Menjalankan Perintah Jabatan
Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Perbedaannya dengan menjalankan perintah
undang-undang, dalam perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang
memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu.
Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan
berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada menjalakan perintah undang-undang
keabsahan pada menjalankan perintah itu ada pada undang-undangnya. Keduanya
termasuk dalam alasan pembenar.
Contoh menjalankan perintah jabatan yang
dimaksud, ialah seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk
menangkap seorang tersangka. Antara penyelidik dan penyidik ada hubungan publik
yang berdasarkan undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi
penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya
menjalankan perintah jabatan.
7. Menjalankan Perintah Jabatan
Yang Tidak Sah Dengan Itikad Baik
Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 2 perintah
jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila orang
yang menerima perintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan
dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.
Hal ini dapat dilihat dari syarat subjektif
dan syarat objektif:
a. Syarat subjektif; syarat ini terletak pada
sikap batin si penerima perintah ialah dia mengira bahwa perintah itu sah
adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah didasarkan pada hal-hal yang
masuk akal, dan oleh karena itu faktor-faktor rasional dan masuk akal yang
menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah. Dapat mengira
bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang memberikan perintah
itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang menjadi isi
perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan yang
memberi perintah.
Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1)
KUHAP berwenang memberi perintah pada penyidik pembantu utnuk melakukan
penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan pada orang yang telah diketahui
penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah orang yang dibenci,
apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik
pembantu menjadi masuk akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad
baik dalam menjalakan perintah iitu dan dia tidak dapat dipidana. Sikap batin
“mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan pada kedua faktor diatas.
Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang
yang memberi perintah secara objektif bukanlah orang yang berwenang (2) apa
yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.
b. Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya
perintah harus menjadi bidang pelaksaannan tugasnya, adalah berupa hubungan antara
jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan. Pada jabatan publik terdapat
tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak jabatan dan atau
pelaksanaan kewajiban jabatan.
Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas
dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk
melaksanakan perintah itu, ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam
jabatannya. Andaikata si penyidik memerintahkan pada penyidik pembantu untuk
memukuli tersangka yang tidak memberikan keterangan berisi pengakuan, lalu
perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik pembantu ini sudah berada
diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung jawab sepenuhnya
taas penyiksaan.
Peniadaan
Pidana Di Luar KUHP
Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan
merupakan hukum tertulis menurut van Bemmelen ialah :
1. Hak mendidik orang tua dan wali terhadap
anaknya, hak mendidik guru, dosen, (dan guru mengaji) terhadap murid/siswanya.
2. Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker,
bidan, dan peneliti ilmu-ilmu alam.
3. izin mereka yang kepentingannya dilanggar,
kepada orang yang melanggar kepentingan itu, yang perbuatannya merupakan delik
seandainya tak ada izin tersebut.
4. Zaakwarnerming menurut pasal 1354-1358
KUHPerdata.
5. Tak ada sifat melawan hukumnya yang materiel.
6. Tak ada kesalahan
Selaian yang disebut oleh Bemmelen, tentu
masih ada peraturan hukum lain yang mengandung dasar pembenar dan dasar pemaaf,
misalnya :
1. Hak dukun kampong mengobati atau menyunat
orang, atau melakukan pekerjaan bidan;
2. Hak KONI untuk mengadakan adu orang;
3. Ketentuan hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan pancasila.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keadaan-keadaan yang membuat
penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku
disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan
“penuntutan” sedang keadaan- keadaan
yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak
dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Alasan penghapusan pidana yang umum
terdapat di dalam: Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan; Pasal 48: daya
paksa; Pasal 49: ayat (1) pembelaan terpaksa; Pasal 49: ayat (2) pemebelaan
terpaksa yang melampaui batas; Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah; Pasal
51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang; Pasal 51: ayat (2)
menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika awahan itu dengan itikat
baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
Yang khusus, yaitu yang tercantum
di dalam pasal-pasal terkait seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk
delik dalam Pasal 221 ayat (2).
Dasar peniadaan pidana diluar
undang-undang juga dapat dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum
misalnya “tiada pidana tanpa kesalahan” dan “tiada melawan hokum s
Yang khusus, mengenai
kewenagan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu) misalnya
pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain.
Dasar peniadaan penuntutan terdiri
atas : Tidak ada pengaduan pada delik aduan; Tidak dua kali penuntutan atas
orang dan perbuatan yang sama (ne is in idem) tercantum dalam pasal 76 KUHP;
Terdakwa meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP; Lewat waktu
(verjaring), tercantum dalam pasal 78 KUHP; Penyelesaian di luar pengadilan
(afdoening buiten process); Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (undang-undang
peradilan anak).
Alasan penghapusan penuntutan di
luar KUHPidana yaitu : Grasi, Abolisi dan Amnesti.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar – Dasar Hukum
Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya : Jakarta.
E.Y. Kanter, S.H. & S.R. Sianturi, S.H.,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 2002, Storia Grafika :
Jakarta
Hamzah, Andi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, PT
Rineka Cipta : Jakarta.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, PT Asdi
Mahasatya: Jakarta.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008,
PT Bumi Aksara : Jakarta.
Poernomo, Bambang, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana,
1978, Ghalia Indonesia: Yogyakarta.
R. Achmad Soema Di Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana,
1982, Alumni : Bandung.
Sastrawidjaja, Sofjan, S.H., Hukum Pidana (Asas
Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Penghapusan Pidana), 1995, CV Armico :
Bandung.
[1] J.M. van Bemmelen, op.cit., hlm.
170.
[2] D. Hazewinkel-Suringa, op.cit.,
hlm.201.
[3] J.M. van Bemmelen, op.cit., hlm 149.
[4] H. B. Vos, op.cit., hlm. 150.
[5] W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191.
[6] Moeljatno, op.cit., hlm.
[7] J.E. Jonkers, op.cit., hlm.65.
[8] Van Bemmelen, op.cit., hlm. 210-211.
[9] W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191 dan
seterusnya.
[10] D. Hazewinkel-Suringa, op.cit.,
hlm. 234-235.
[11] J. Remmelink, op.cit. hlm 433
Comments
Post a Comment